DILEMA PEDAGANG DI PASAR KLENDER
Oleh: Natasya Nurhaliza (XII MIPA 3)
Cuaca yang cukup terik, motor yang berlalu lalang dari salah satu pasar di Ibu Kota yaitu pasar Klender, Jakarta Timur bagai kebiasaan sehari-hari Mbah Inem (80). Ia tengah sibuk termenung lantaran menunggu pembeli yang datang.
Kala seusianya sudah seharusnya berada di rumah, bermain bersama anak dan cucu-cucu mereka, Mbah Inem masih harus mencari sesuap nasi untuk makan sehari-hari. Sesekali Mbah Inem melayani pembeli yang datang, meski hanya membeli cabai seharga Rp5.000
Mbah Inem sendiri mengatakan, “aku ki ra nggolek untung nduk, seng penteng iso mangan wae wes cukup” atau bisa diartikan “ aku tidak mengambil untung nak, yang penting bisa makan saja sudah cukup”. Walau pembeli yang datang tidak seramai sebelum pandemi Covid-19 ada, tetapi tidak mematahkan semangat Mbah Inem untuk tetap berjualan.
Dengan baju daster bermotif bunga-bunga berwarna hitam, sendal jepit, serta rambut berwarna putih yang disanggul merupakan gaya pakaiannya sehari-hari. Dengan postur tubuh yang sudah tidak lagi tegap, dan muka yang kian mengeriput, tidak membuat Mbah Inem menyerah dikala usia lanjutnya.
Mbah Inem sendiri bercerita bahwa beliau terkadang melepas masker dikarenakan beliau sedikit terganggu pernapasannya sehingga, membuat dirinya sesekali merasa sesak. Beliau sendiri bercerita, sudah melakukan vaksinasi yang berada di Puskesmas Kecamatan Klender, dekat dari tempat tinggalnya.
Setiap malam hari, anaknya mengambil dagangan di pusat tukang sayur untuk dijual pada pagi harinya. Sebenarnya sebelum pandemi Covid-19, beliau masih bisa berjualan dengan dagangan yang dibeli olehnya menggunakan modal dagang yang di dapatkannya hari kemarin, tetapi modal tersebut sudah terpakai lantaran anak dan mantunya kehilangan pekerjaan selama pandemi covid-19 berlangsung.
Raut kelelahan tak nampak di wajah lansia 80 tahun itu, Mbah Inem mengaku bahwa waktu berjualan tak terasa dibandingkan hanya diam di rumah. Sekitar jam 5 pagi usai menunaikan salat subuh, Mbah Inem di antar oleh anaknya menggunakan sepeda motor untuk pergi berjualan. Hal ini beliau lakukan dari jam 5 pagi hingga sehabis dagangannya, biasanya sekitar pukul 11 siang.
Kegigihan Mbah Inem untuk mencari sesuap nasi perlu diapresiasi oleh kita semua. Mbah Inem yang bekerja keras, tidak pantang menyerah meski diusia lanjutnya, membuat kita seharusnya sadar, masih banyak sekali orang-orang di sekitar kita yang membutuhkan bantuan dari kita semua.